ZIPPER SYSTEM DALAM PENCALONAN SEBAGAI UPAYA AFFIRMASI DALAM MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DPR DAN DPRD

ZIPPER SYSTEM DALAM PENCALONAN SEBAGAI UPAYA AFFIRMASI DALAM MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DPR DAN DPRD

( Seri Pendidikan Pemilih : 2 )

Oleh :

Meri Sariningsih,S.Pd.I,MM

( Ketua Divisi Sosialisasi ,Partisipasi masyarakat dan SDM KPU Kab.Sukabumi )

 

 

Sebagai Negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika, Indonesia sangat concern terhadap peningkatan partisipasi perempuan dalam politik. Sudah sejak lama Indonesia mengesahkan Undang-Undang terkait dengan Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan melalui UU No. 68 Tahun 1958. Undang-undang (UU) yang ditetapkan tanggal 17 juli 1958 tersebut tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita. Dalam memori Penjelasan di bagian Penjelasan Umum menyebutkan bahwa “Undang‐undang Dasar Sementara Republik Indonesia menjamin hak‐hak yang sama dengan kaum pria bagi kaum wanita dalam segala lapangan. Wanita Indonesia pada waktu sekarang mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan apapun saja dalam segala aparat‐aparat Pemerintah. Juga hak untuk memilih dan dipilih kaum wanita dalam semua badan‐badan yang dipilih umum telah dijalankan dan telah terbukti dan oleh sebab itu Pemerintah Republik Indonesia dapat menyetujui maksud dan tujuan Konvensi Hak‐hak Politik Kaum Wanita yang pada dasarnya sejalan dengan Undang‐undang Dasar Sementara Republik Indonesia”. Diperjelas kembali dalam Pasal I Undang – Undang Tersebut :“ Wanita akan mempunyak hak untuk memberikan suaranya dalam semua pemilihan ‐ pemilihan dengan syarat‐syarat yang sama dengan pria, tanpa suatu diskriminasi “dan di pasal II Nya” Wanita akan dapat dipilih untuk pemilihan dalam semua badan‐badan pilihan umum, yang didirikan oleh hukum nasional, dengan syarat‐syarat sama dengan pria, tanpa suatu diskriminasi”. Tentu ini adalah kesempatan besar bagi kaum perempuan Indonesia untuk berkiprah di ruang publik khususnya di lembaga politik dan birokrasi tanpa ada tekanan dan diskriminasi dari siapapun dan dari manapun, sebab semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama  dalam kontestasi politik sehingga terbentuk kesetaraan gender dalam demokrasi. Kesetaraan relasi antara perempuan dan laki – laki pada ranah domestik dan publik serta bebas dari diskriminasi adalah salah satu unsur dari demokrasi.

             Demokrasi memerlukan ruang atau sarana untuk mewujudkannya. sarana tersebut salah satunya melalui pemilihan Umum. Dalam menjamin terselenggaranya pemilu yang sesuai dengan prinsip demokrasi, maka perlu diberlakukannya sistem yang mengatur berjalannya penyelenggaraan pemilu. Sistem Pemilu yang dianut oleh suatu negara sangat penting keberadaannya, karena dengan sistem pemilu dapat Mempengaruhi hasil pemilu salah satunya Partisipasi dan keterwakilan perempuan di parlemen. sistem pemilu juga dapat mempengaruhi sistem kepartaian, perilaku politik masyarakat dan yang tak kalah penting sistem pemilu dapat Mempengaruhi stabilitas politik.

Banyak Definisi yang menjelaskan sistem pemilu. Reynolds, Reilly, Ellis,et.al (2016) menjelaskan bahwa “ Sistem pemilu menkonversi perolehan suara dalam sebuah pemilu menjadi kursi – kursi yang dimenangkan oleh para parpol dan para calon “. secara sederhana bahwa Sistem Pemilu adalah seperangkat aturan yang mengatur cara pemilih memberikan pilihan dan mengkonversi suara menjadi kursi. Unsur dalam sistem pemilu menurut Gallagher dan Mitchell (2005) mendefinisikan enam (6) unsur dalam sistem Pemilu yaitu : a. Besaran Daerah pemilihan  (Distric magnitude); b. Pencalonan; c. Pemberian suara (Ballot structure); d. Formula penghitungan suara dan penentuan calon terpilih; e. Ambang Batas f. Penjadwalan penyelenggaraan Pemilu. Dalam UU No.7 tahun 2017 disebutkan bahwa unsur dalam sistem pemilu adalah : a. Pencalonan anggota legislatif; b. Ambang batas suara DPR (Parliamentary threshold); c. Pencalonan presiden/wapres ; d. Alokasi kursi (distric magnitude) ;  e. cara pemberian suara ;  f. metode konversi suara menjadi kursi. Dari kedua penjelasan tersebut jelaslah bahwa sistem pemilu memiliki 4 (empat) aspek strategis yaitu aspek dalam hal : 1) Daerah pemilihan 2) Mekanisme pencalonan 3) proses pemberian suara 4) Penghitungan dan penetapan kursi dan calon terpilih .

Dalam Pencalonan ada aspek afirmasi yang memperhatikan keterwakilan perempuan. Salah satu perhatian dalam afirmasi terhadap keterwakilan perempuan ini adalah usaha dan metode untuk mendorong kesetaraan perempuan dalam lembaga politik formal. Ada 3 (Tiga) bentuk kuota yang diterapkan oleh sebagian besar negara , yakni : 1. Reserved Seats ( Kursi yang sudah dipesan) adalah sebuah mekanisme yang memastikan calon perempuan dapat terpilih dalam lembaga parlemen dengan jumlah kursi yang disepakati bersama ; 2. Legal Candidates quota ( Kuota calon secara legal diparlemen ) adalah sebuah mekanisme yang menempatkan sejumlah calon perempuan untuk dapat dipilih oleh pemilih di dapil. Ada angka kritis yang biasanya didorong yakni minimal 30 -40 persen jumlah perempuan di daftar pemilih ; 3. Political party quota (kuota dalam parpol) adalah mekanisme yang mengatur jumlah perempuan untuk dapat ikut berpartisipasi dalam kepengurusan dan aktivitas parpol ((Dahlerup 2006) . Merujuk ke 3 (tiga) bentuk kuota tersebut, Legal Candidates quota merupakan bentuk kuota yang diadopsi oleh Indonesia saat ini. Ada mekanisme yang ketat dalam pengaturan calon yaitu berdasarkan nomor urut dan jenis kelamin (zipper system). Dengan Metode pencalonan dalam pemilu anggota DPR dan DPRD menggunakan Sistem proporsional terbuka (sistem perwakilan proporsional) yang memungkinkan pemilih untuk turut serta dalam proses penentuan urutan calon partai yang akan dipilih.

Keterwakilan Perempuan sekurang – kurangnya 30 % dalam pencalonan sebagai anggota DPR dan DPRD untuk pertama kalinya diterapkan pada pemilu 2004, setelah disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD Pasal 65 ayat (1) : ‟Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang –kurangnya 30 % “. Afirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik ini mempunyai landasan yang kuat setelah sebelumnya berlaku perubahan UUD 1945  yaitu pasal 28 H  Ayat (2)  yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Upaya afirmasi mendorong keterwakilan perempuan di parlemen melalui penerapan kuota minimal 30% untuk calon legislatif perempuan pada Pemilu 2004 masih belum optimal, karena  masih jauh dari harapan yang hanya 11,24% anggota legislatif terpilih perempuan di DPR. Hal ini dikarenakan terpinggirkanya posisi calon perempuan pada nomor urut terbawah dalam pencalonan.Untuk itu Gerakan perempuan mendorong diberlakukannya regulasi untuk memperbaiki dan melengkapi upaya afirmasi yang sudah dilakukan. Maka pada pemilu 2009 ditambahkan aturan zipper system selain aturan kuota minimal Calon Legislatif perempuan 30 %. Affirmative action ini dibuktikan dengan lahirnya Undang – Undang paket politik yang digunakan dalam pelaksanaan pemilu 2009 Yaitu UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Yang dimaksud dengan zipper Sistem adalah setiap 3 (tiga) bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan. lebih jelasnya disebutkan dalam UU 10 tahun 2008 pasal 55 ayat (2): “ Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon” . Pada ayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut. contoh dari penerapan zipper system adalah setiap partai yang mengajukan bakal calon untuk menjadi anggota DPR RI atau DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten /kota dengan nomor urut 1 sampai 3 , maka salah satu diantaranya harus seorang bakal calon perempuan.

UU 10 Tahun 2008 Pasal 55 ayat (2) merupakan terobosan baru dan lebih maju untuk mendukung keterwakilan perempuan di parlemen ,karena dalam Undang – Undang tersebut mengatur zipper sistem yang berdampak pada peningkatan angka anggota legislatif perempuan terpilih dalam Pemilu . walaupun masih belum mencapai target keterwakilan perempuan sebesar minimal 30%, namun persentase ini meningkat pesat dari Pemilu 1999 yang persentase perempuannya  hanya 9,0 %. Berdasarkan data hasil pemilu 2004 keterwakilan perempuan di DPR mencapai 11,24 % setelah berlakunya UU No.12 Tahun 2003 . kemudian bertambah lagi sebesar 18 %  Pada pemilu 2009 ketika penerapan zipper system mulai berlaku ,Walaupun di Pemilu 2014 ada penurunan keterwakilan perempuan  menjadi 17,32% namun terjadi peningkatan kembali pada pemilu 2019 sebesar 20,52 % dari total  575 anggota DPR terpilih atau  118 orang  perempuan.

Mungkin bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya yaitu 3 (Tiga) Negara yang merupakan negara dengan keterwakilan perempuan parlemen tertinggi di dunia, Indonesia masih harus banyak belajar . Namun tidak menutup kemungkinan di Pemilu 2024 nanti Target partisipasi keterwakilan perempuan bisa melebihi 30 persen. Merujuk pada data Inter-Parliamentary Union (IPU) per September 2019, 3 (Tiga) Negara dengan keterwakilan perempuan tertinggi di dunia tersebut  yaitu : a. Rwanda , Pada Pemilu 2018 tingkat keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 61,3 persen  ; b. Kuba,  pada Pemilu 2018 Keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 53,2 persen dan c. Bolivia, pada Pemilu 2014 Tingkat keterwakilan perempuan Bolivia di parlemen mencapai 53,1 persen.

Peluang dan kesempatan bagi kaum perempuan untuk berkiprah diwilayah politik praktis sangat terbuka lebar, tinggal bagaimana bisa memanfaatkannya. Di mulai dari Persyaratan pengajuan partai politik menjadi peserta pemilu yang harus menyertakan sekurang – kurangnya 30 % pada kepengurusan partai politik tingkat pusat ( UU 7 tahun 2017 pasal 173 ayat 2 )  :  “ Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah  memenuhi persyaratan: (e) menyertakan paling sedikit 30 % (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat “.  kemudian ditegaskan kembali dalam pasal 177 UU 7 Tahun 2017 kaitan dengan proses pendaftaran, disebutkan dalam pasal tersebut : “surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan keterangan peraturan perundang-undangan”. Diperjelas kembali dalam aturan tekhnis pelaksanaan dalam Persyaratan dan Pendaftaran Calon Partai Politik Peserta Pemilu yang diatur dalam PKPU No 6 Tahun 2018 Bab 2 tentang Persyaratan  Partai Politik Peserta Pemilu Pasal 9 ayat 1 huruf (e) :”Partai Politik dapat menjadi Peserta Pemilu wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut  menyertakan paling sedikit keterwakilan 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan Partai Politik tingkat pusat, dan memperhatikan 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan Partai Politik tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota”

Tidak jauh berbeda dalam Proses Pencalonan, PKPU No.20 Tahun 2018 yang mengatur tentang Persyaratan Pengajuan Bakal Calon Bagian Kedua pasal 6 ayat 1 bahwa Setiap Partai Politik dapat mengajukan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dengan ketentuan disebutkan dalam huruf c : “ disusun dalam daftar bakal calon yang wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) di setiap Dapil “  kemudian mekanisme penyusunan dalam daftar calon juga diatur sebagaimana yang disebutkan dalam huruf d  : “Di setiap 3 (tiga) orang bakal calon pada susunan daftar calon sebagaimana dimaksud pada huruf c, wajib terdapat paling sedikit 1 (satu) orang bakal calon perempuan”

 

Bagaimana bila parpol tidak bisa memenuhi persyaratan di atas? Dalam hal Partai Politik tidak dapat memenuhi pengajuan 30% (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil dan penempatan susunan daftar calon ,pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada Dapil yang  bersangkutan tidak dapat diterima (PKPU 20 Tahun 2018 Pasal 3 ). Tentu ini merugikan partai politik itu sendiri, karena menjadi kontestan di pemilu tidaklah mudah. Dimulai dari proses verifikasi partai politik yang membutuhkan waktu yang cukup ama dan persyaratan yang tidak mudah , kemudian bila sudah terdaftar baru bisa mengajukan calon – calon terbaiknya sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mengikuti kontestasi pemilu. Untuk itu proses pengkaderan yang baik mesti di perhatikan oleh setiap partai politik khususnya Pengkaderan bagi perempuan.

            Di Kabupaten Sukabumi khususnya semua partai politik bisa memenuhi persyaratan dalam  proses verifikasi partai politik dan proses pencalonan terkait dengan penyertaan  minimal 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan . Pada Persyaratan dan Pendaftaran Calon Partai Politik Peserta Pemilu 2019 untuk memperhatikan 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat Kabupaten, persyaratan tersebut terpenuhi dengan baik begitu pula dalam proses pencalonan , partai politik dapat memenuhi persyaratan keterwakilan 30 % Bakal calon perempuan di setiap Daerah pemilihan dengan susunan daftar calon memperhatikan aturan zipper system.

Dalam hal tingkat keterwakilanpun ada peningkatan calon perempuan terpilih untuk menduduki jabatan di DPRD kab.Sukabumi pada penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2019. Semula Pada Pemilu 2014 hanya 12 % perempuan yang terpilih dari 50 kursi anggota dewan yang tersedia , kemudian menjadi  16 % di Pemilu 2019 . Akan menjadi Perubahan yang positif, bila di Pemilu 2024 nanti minimal 30 % persen perempuan terpilih menjadi anggota DPRD Kab.Sukabumi.

Zipper System bagian dari Legal Candidates quota (Kuota calon secara legal diparlemen) yang diterapkan oleh sebagian negara didunia salah satu upaya peningkatan partisipasi perempuan di bidang politik.  Ada bentuk kuota lain dari 3 bentuk kuota yang mungkin saja bisa di coba dengan penerapan Reserved Seats (Kursi yang sudah dipesan) yaitu sebuah mekanisme yang memastikan calon perempuan dapat terpilih dalam lembaga parlemen dengan jumlah kursi yang disepakati bersama. Tentu perlu perjuangan yang tidak mudah bagi gerakan perempuan dan pegiat pemilu untuk memperjuangkannya, sebagaimana ketika zipper system diberlakukan pada pemilu 2009.

Semoga dengan Lebih banyaknya keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD regulasi yang dihasilkan lebih memprioritaskan kepentingan perempuan,perlindungan dan kebijakan yang ramah perempuan sehingga berkorelasi positif dengan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 3,011 Kali.