Opini

217

Mewujudkan Budaya Kerja yang Inklusif dan Kolaboratif

Harapan Kami untuk KPU Jawa Barat: Mewujudkan Budaya Kerja yang Inklusif dan Kolaboratif Oleh Dinda Aviani Dwi Putri            Budaya kerja yang inklusif dan kolaboratif merupakan dua hal yang penting. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Jobstreet dan Boston Consulting Group yang dikutip oleh Perusahaan SEEK, 70% responden berpendapat bahwa lingkungan kerja yang inklusif adalah isu yang penting, dan 51% responden memilih untuk menghindari atau meninggalkan lingkungan kerja yang tidak inklusif. Lalu, menurut seorang peneliti, Kate Vitasek, yang dikutip oleh Forbes, produktivitas dapat ditingkatkan melalui lingkungan kerja yang kolaboratif. Survei dan pendapat ahli ini menunjukan pentingnya budaya kerja inklusif dan kolaboratif diwujudkan di tempat kerja. Berdasarkan laporan Gallup Inc, lingkungan kerja inklusif adalah lingkungan kerja dimana pegawai merasa dihargai, dihormati, diterima, dan didukung untuk berpartisipasi di tempat kerja. Menurut saya, budaya kerja inklusif di KPU Jawa Barat dapat terwujud atau ditingkatkan dengan dilibatkannya semua pegawai, baik yang senior maupun junior, dalam semua kegiatan termasuk pengambilan keputusan atau kebijakan. Partisipasi pegawai-pegawai baru, dalam konteks ini yaitu CPNS, dapat membuat mereka merasa bahwa pendapatnya dihargai meskipun pengalaman kerja masih sedikit. Tentu saja, dilibatkannya CPNS ini, harus didahului oleh pengembangan kemampuan dan pengetahuan CPNS. Hal ini karena, tanpa adanya kemampuan dan pengetahuan, para CPNS tidak akan percaya diri untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan KPU.           Budaya kerja inklusif berkaitan dengan budaya kerja kolaboratif. Seperti yang dijelaskan sebelumnya berdasarkan laporan Gallup Inc, lingkungan kerja inklusif adalah lingkungan kerja dimana pegawai merasa dihargai, dihormati, diterima, dan didukung untuk berpartisipasi di tempat kerja. Pada lingkungan kerja dimana setiap pegawai dihargai, dihormati, diterima, dan didukung oleh rekan-rekannya, akan timbul rasa saling percaya satu sama lain. Rasa percaya inilah yang kemudian mendorong terwujudnya budaya kolaboratif. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam penelitian Pishdad-Bozorgi dan Beliveau yang dikutip oleh Wioleta Kucharska dalam penelitiannya, bahwa kepercayaan menciptakan lingkungan kolaboratif.           Berdasarkan penjelasan di atas, saya menyimpulkan bahwa budaya kerja inklusif dan kolaboratif di KPU Jawa Barat dapat terwujud atau ditingkatkan dengan melibatkan setiap pegawai, termasuk CPNS, dalam setiap kegiatan KPU Jawa Barat. Harapan saya, dengan dilibatkannya CPNS dalam setiap kegiatan KPU, CPNS dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar di kemudian hari dapat berpartisipasi aktif di KPU. Partisipasi aktif ini kemudian akan menciptakan perasaan diterima dan diakui sebagai bagian dari KPU, sehingga terwujudnya atau semakin kuatnya budaya kerja inklusif di KPU Jawa Barat. Budaya kerja inklusif kemudian akan menimbulkan rasa saling percaya satu sama lain, yang dapat membuat terwujudnya atau semakin kuatnya budaya kerja kolaboratif di KPU Jawa Barat.   REFERENSI Gallup Inc. (2018). Three Requirements of a Diverse and Inclusive Culture — and Why They Matter for Your Organization. Retrieved from UCI Human Resources: https://hr.uci.edu/partnership/survey/pdf/07-Diversity-Inclusion-Index.pdf Kucharska, W. (2017). Relationships between Trust and Collaborative Culture in The Context of Tacit Knowledge Sharing. Journal of Entrepreneurship, Management and Innovation, 13(4), https://jemi.edu.pl/vol-13-issue-4-2017/relationships-between-trust-and-collaborative-culture-in-the-context-of-tacit-knowledge-sharing Pishdad-Bozorgi, P., & Beliveau, Y. J. (2016). Symbiotic relationships between integrated project delivery (IPD) and trust. International Journal of Construction Education and Research, 12(3), 179–192 SEEK. (n.d.). Menghindari Bias Dalam Membuat Iklan Lowongan Kerja. Retrieved from SEEK EmployerIndonesia: https://id.employer.seek.com/id/market-insights/article/menghindari-bias-dalam-membuat-iklan-lowongan-kerja Vitasek, Kate. (2022). Why Collaboration Yields Improved Productivity (And The Science Behind It). Retrieved from Forbes: https://www.forbes.com/sites/katevitasek/2022/03/08/why-collaboration-yields-improved-productivity-and-the-science-behind-it/


Selengkapnya
2944

ZIPPER SYSTEM DALAM PENCALONAN SEBAGAI UPAYA AFFIRMASI DALAM MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DPR DAN DPRD

ZIPPER SYSTEM DALAM PENCALONAN SEBAGAI UPAYA AFFIRMASI DALAM MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DPR DAN DPRD ( Seri Pendidikan Pemilih : 2 ) Oleh : Meri Sariningsih,S.Pd.I,MM ( Ketua Divisi Sosialisasi ,Partisipasi masyarakat dan SDM KPU Kab.Sukabumi )     Sebagai Negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika, Indonesia sangat concern terhadap peningkatan partisipasi perempuan dalam politik. Sudah sejak lama Indonesia mengesahkan Undang-Undang terkait dengan Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan melalui UU No. 68 Tahun 1958. Undang-undang (UU) yang ditetapkan tanggal 17 juli 1958 tersebut tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita. Dalam memori Penjelasan di bagian Penjelasan Umum menyebutkan bahwa “Undang‐undang Dasar Sementara Republik Indonesia menjamin hak‐hak yang sama dengan kaum pria bagi kaum wanita dalam segala lapangan. Wanita Indonesia pada waktu sekarang mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan apapun saja dalam segala aparat‐aparat Pemerintah. Juga hak untuk memilih dan dipilih kaum wanita dalam semua badan‐badan yang dipilih umum telah dijalankan dan telah terbukti dan oleh sebab itu Pemerintah Republik Indonesia dapat menyetujui maksud dan tujuan Konvensi Hak‐hak Politik Kaum Wanita yang pada dasarnya sejalan dengan Undang‐undang Dasar Sementara Republik Indonesia”. Diperjelas kembali dalam Pasal I Undang – Undang Tersebut :“ Wanita akan mempunyak hak untuk memberikan suaranya dalam semua pemilihan ‐ pemilihan dengan syarat‐syarat yang sama dengan pria, tanpa suatu diskriminasi “dan di pasal II Nya” Wanita akan dapat dipilih untuk pemilihan dalam semua badan‐badan pilihan umum, yang didirikan oleh hukum nasional, dengan syarat‐syarat sama dengan pria, tanpa suatu diskriminasi”. Tentu ini adalah kesempatan besar bagi kaum perempuan Indonesia untuk berkiprah di ruang publik khususnya di lembaga politik dan birokrasi tanpa ada tekanan dan diskriminasi dari siapapun dan dari manapun, sebab semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama  dalam kontestasi politik sehingga terbentuk kesetaraan gender dalam demokrasi. Kesetaraan relasi antara perempuan dan laki – laki pada ranah domestik dan publik serta bebas dari diskriminasi adalah salah satu unsur dari demokrasi.              Demokrasi memerlukan ruang atau sarana untuk mewujudkannya. sarana tersebut salah satunya melalui pemilihan Umum. Dalam menjamin terselenggaranya pemilu yang sesuai dengan prinsip demokrasi, maka perlu diberlakukannya sistem yang mengatur berjalannya penyelenggaraan pemilu. Sistem Pemilu yang dianut oleh suatu negara sangat penting keberadaannya, karena dengan sistem pemilu dapat Mempengaruhi hasil pemilu salah satunya Partisipasi dan keterwakilan perempuan di parlemen. sistem pemilu juga dapat mempengaruhi sistem kepartaian, perilaku politik masyarakat dan yang tak kalah penting sistem pemilu dapat Mempengaruhi stabilitas politik. Banyak Definisi yang menjelaskan sistem pemilu. Reynolds, Reilly, Ellis,et.al (2016) menjelaskan bahwa “ Sistem pemilu menkonversi perolehan suara dalam sebuah pemilu menjadi kursi – kursi yang dimenangkan oleh para parpol dan para calon “. secara sederhana bahwa Sistem Pemilu adalah seperangkat aturan yang mengatur cara pemilih memberikan pilihan dan mengkonversi suara menjadi kursi. Unsur dalam sistem pemilu menurut Gallagher dan Mitchell (2005) mendefinisikan enam (6) unsur dalam sistem Pemilu yaitu : a. Besaran Daerah pemilihan  (Distric magnitude); b. Pencalonan; c. Pemberian suara (Ballot structure); d. Formula penghitungan suara dan penentuan calon terpilih; e. Ambang Batas f. Penjadwalan penyelenggaraan Pemilu. Dalam UU No.7 tahun 2017 disebutkan bahwa unsur dalam sistem pemilu adalah : a. Pencalonan anggota legislatif; b. Ambang batas suara DPR (Parliamentary threshold); c. Pencalonan presiden/wapres ; d. Alokasi kursi (distric magnitude) ;  e. cara pemberian suara ;  f. metode konversi suara menjadi kursi. Dari kedua penjelasan tersebut jelaslah bahwa sistem pemilu memiliki 4 (empat) aspek strategis yaitu aspek dalam hal : 1) Daerah pemilihan 2) Mekanisme pencalonan 3) proses pemberian suara 4) Penghitungan dan penetapan kursi dan calon terpilih . Dalam Pencalonan ada aspek afirmasi yang memperhatikan keterwakilan perempuan. Salah satu perhatian dalam afirmasi terhadap keterwakilan perempuan ini adalah usaha dan metode untuk mendorong kesetaraan perempuan dalam lembaga politik formal. Ada 3 (Tiga) bentuk kuota yang diterapkan oleh sebagian besar negara , yakni : 1. Reserved Seats ( Kursi yang sudah dipesan) adalah sebuah mekanisme yang memastikan calon perempuan dapat terpilih dalam lembaga parlemen dengan jumlah kursi yang disepakati bersama ; 2. Legal Candidates quota ( Kuota calon secara legal diparlemen ) adalah sebuah mekanisme yang menempatkan sejumlah calon perempuan untuk dapat dipilih oleh pemilih di dapil. Ada angka kritis yang biasanya didorong yakni minimal 30 -40 persen jumlah perempuan di daftar pemilih ; 3. Political party quota (kuota dalam parpol) adalah mekanisme yang mengatur jumlah perempuan untuk dapat ikut berpartisipasi dalam kepengurusan dan aktivitas parpol ((Dahlerup 2006) . Merujuk ke 3 (tiga) bentuk kuota tersebut, Legal Candidates quota merupakan bentuk kuota yang diadopsi oleh Indonesia saat ini. Ada mekanisme yang ketat dalam pengaturan calon yaitu berdasarkan nomor urut dan jenis kelamin (zipper system). Dengan Metode pencalonan dalam pemilu anggota DPR dan DPRD menggunakan Sistem proporsional terbuka (sistem perwakilan proporsional) yang memungkinkan pemilih untuk turut serta dalam proses penentuan urutan calon partai yang akan dipilih. Keterwakilan Perempuan sekurang – kurangnya 30 % dalam pencalonan sebagai anggota DPR dan DPRD untuk pertama kalinya diterapkan pada pemilu 2004, setelah disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD Pasal 65 ayat (1) : ‟Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang –kurangnya 30 % “. Afirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik ini mempunyai landasan yang kuat setelah sebelumnya berlaku perubahan UUD 1945  yaitu pasal 28 H  Ayat (2)  yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Upaya afirmasi mendorong keterwakilan perempuan di parlemen melalui penerapan kuota minimal 30% untuk calon legislatif perempuan pada Pemilu 2004 masih belum optimal, karena  masih jauh dari harapan yang hanya 11,24% anggota legislatif terpilih perempuan di DPR. Hal ini dikarenakan terpinggirkanya posisi calon perempuan pada nomor urut terbawah dalam pencalonan.Untuk itu Gerakan perempuan mendorong diberlakukannya regulasi untuk memperbaiki dan melengkapi upaya afirmasi yang sudah dilakukan. Maka pada pemilu 2009 ditambahkan aturan zipper system selain aturan kuota minimal Calon Legislatif perempuan 30 %. Affirmative action ini dibuktikan dengan lahirnya Undang – Undang paket politik yang digunakan dalam pelaksanaan pemilu 2009 Yaitu UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Yang dimaksud dengan zipper Sistem adalah setiap 3 (tiga) bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan. lebih jelasnya disebutkan dalam UU 10 tahun 2008 pasal 55 ayat (2): “ Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon” . Pada ayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut. contoh dari penerapan zipper system adalah setiap partai yang mengajukan bakal calon untuk menjadi anggota DPR RI atau DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten /kota dengan nomor urut 1 sampai 3 , maka salah satu diantaranya harus seorang bakal calon perempuan. UU 10 Tahun 2008 Pasal 55 ayat (2) merupakan terobosan baru dan lebih maju untuk mendukung keterwakilan perempuan di parlemen ,karena dalam Undang – Undang tersebut mengatur zipper sistem yang berdampak pada peningkatan angka anggota legislatif perempuan terpilih dalam Pemilu . walaupun masih belum mencapai target keterwakilan perempuan sebesar minimal 30%, namun persentase ini meningkat pesat dari Pemilu 1999 yang persentase perempuannya  hanya 9,0 %. Berdasarkan data hasil pemilu 2004 keterwakilan perempuan di DPR mencapai 11,24 % setelah berlakunya UU No.12 Tahun 2003 . kemudian bertambah lagi sebesar 18 %  Pada pemilu 2009 ketika penerapan zipper system mulai berlaku ,Walaupun di Pemilu 2014 ada penurunan keterwakilan perempuan  menjadi 17,32% namun terjadi peningkatan kembali pada pemilu 2019 sebesar 20,52 % dari total  575 anggota DPR terpilih atau  118 orang  perempuan. Mungkin bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya yaitu 3 (Tiga) Negara yang merupakan negara dengan keterwakilan perempuan parlemen tertinggi di dunia, Indonesia masih harus banyak belajar . Namun tidak menutup kemungkinan di Pemilu 2024 nanti Target partisipasi keterwakilan perempuan bisa melebihi 30 persen. Merujuk pada data Inter-Parliamentary Union (IPU) per September 2019, 3 (Tiga) Negara dengan keterwakilan perempuan tertinggi di dunia tersebut  yaitu : a. Rwanda , Pada Pemilu 2018 tingkat keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 61,3 persen  ; b. Kuba,  pada Pemilu 2018 Keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 53,2 persen dan c. Bolivia, pada Pemilu 2014 Tingkat keterwakilan perempuan Bolivia di parlemen mencapai 53,1 persen. Peluang dan kesempatan bagi kaum perempuan untuk berkiprah diwilayah politik praktis sangat terbuka lebar, tinggal bagaimana bisa memanfaatkannya. Di mulai dari Persyaratan pengajuan partai politik menjadi peserta pemilu yang harus menyertakan sekurang – kurangnya 30 % pada kepengurusan partai politik tingkat pusat ( UU 7 tahun 2017 pasal 173 ayat 2 )  :  “ Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah  memenuhi persyaratan: (e) menyertakan paling sedikit 30 % (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat “.  kemudian ditegaskan kembali dalam pasal 177 UU 7 Tahun 2017 kaitan dengan proses pendaftaran, disebutkan dalam pasal tersebut : “surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan keterangan peraturan perundang-undangan”. Diperjelas kembali dalam aturan tekhnis pelaksanaan dalam Persyaratan dan Pendaftaran Calon Partai Politik Peserta Pemilu yang diatur dalam PKPU No 6 Tahun 2018 Bab 2 tentang Persyaratan  Partai Politik Peserta Pemilu Pasal 9 ayat 1 huruf (e) :”Partai Politik dapat menjadi Peserta Pemilu wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut  menyertakan paling sedikit keterwakilan 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan Partai Politik tingkat pusat, dan memperhatikan 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan Partai Politik tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota” Tidak jauh berbeda dalam Proses Pencalonan, PKPU No.20 Tahun 2018 yang mengatur tentang Persyaratan Pengajuan Bakal Calon Bagian Kedua pasal 6 ayat 1 bahwa Setiap Partai Politik dapat mengajukan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dengan ketentuan disebutkan dalam huruf c : “ disusun dalam daftar bakal calon yang wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) di setiap Dapil “  kemudian mekanisme penyusunan dalam daftar calon juga diatur sebagaimana yang disebutkan dalam huruf d  : “Di setiap 3 (tiga) orang bakal calon pada susunan daftar calon sebagaimana dimaksud pada huruf c, wajib terdapat paling sedikit 1 (satu) orang bakal calon perempuan”   Bagaimana bila parpol tidak bisa memenuhi persyaratan di atas? Dalam hal Partai Politik tidak dapat memenuhi pengajuan 30% (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil dan penempatan susunan daftar calon ,pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada Dapil yang  bersangkutan tidak dapat diterima (PKPU 20 Tahun 2018 Pasal 3 ). Tentu ini merugikan partai politik itu sendiri, karena menjadi kontestan di pemilu tidaklah mudah. Dimulai dari proses verifikasi partai politik yang membutuhkan waktu yang cukup ama dan persyaratan yang tidak mudah , kemudian bila sudah terdaftar baru bisa mengajukan calon – calon terbaiknya sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mengikuti kontestasi pemilu. Untuk itu proses pengkaderan yang baik mesti di perhatikan oleh setiap partai politik khususnya Pengkaderan bagi perempuan.             Di Kabupaten Sukabumi khususnya semua partai politik bisa memenuhi persyaratan dalam  proses verifikasi partai politik dan proses pencalonan terkait dengan penyertaan  minimal 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan . Pada Persyaratan dan Pendaftaran Calon Partai Politik Peserta Pemilu 2019 untuk memperhatikan 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat Kabupaten, persyaratan tersebut terpenuhi dengan baik begitu pula dalam proses pencalonan , partai politik dapat memenuhi persyaratan keterwakilan 30 % Bakal calon perempuan di setiap Daerah pemilihan dengan susunan daftar calon memperhatikan aturan zipper system. Dalam hal tingkat keterwakilanpun ada peningkatan calon perempuan terpilih untuk menduduki jabatan di DPRD kab.Sukabumi pada penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2019. Semula Pada Pemilu 2014 hanya 12 % perempuan yang terpilih dari 50 kursi anggota dewan yang tersedia , kemudian menjadi  16 % di Pemilu 2019 . Akan menjadi Perubahan yang positif, bila di Pemilu 2024 nanti minimal 30 % persen perempuan terpilih menjadi anggota DPRD Kab.Sukabumi. Zipper System bagian dari Legal Candidates quota (Kuota calon secara legal diparlemen) yang diterapkan oleh sebagian negara didunia salah satu upaya peningkatan partisipasi perempuan di bidang politik.  Ada bentuk kuota lain dari 3 bentuk kuota yang mungkin saja bisa di coba dengan penerapan Reserved Seats (Kursi yang sudah dipesan) yaitu sebuah mekanisme yang memastikan calon perempuan dapat terpilih dalam lembaga parlemen dengan jumlah kursi yang disepakati bersama. Tentu perlu perjuangan yang tidak mudah bagi gerakan perempuan dan pegiat pemilu untuk memperjuangkannya, sebagaimana ketika zipper system diberlakukan pada pemilu 2009. Semoga dengan Lebih banyaknya keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD regulasi yang dihasilkan lebih memprioritaskan kepentingan perempuan,perlindungan dan kebijakan yang ramah perempuan sehingga berkorelasi positif dengan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara


Selengkapnya
2188

MENUJU PEMILU DAN PEMILIHAN SERENTAK NASIONAL TAHUN 2024 YANG BERKUALITAS

MENUJU PEMILU DAN PEMILIHAN SERENTAK NASIONAL TAHUN 2024 YANG BERKUALITAS   (seri Pendidikan Pemilih : 1)   Oleh : Meri Sariningsih, S.Pd.I, MM (Ketua Divisi Sosialisasi , Parmas dan SDM KPU Kab. Sukabumi)       Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu dari 270 (Dua Ratus Tujuh Puluh) wilayah yang mengikuti pemilihan di tahun 2020. Pemilihan serentak 2020 sendiri merupakan pemilihan serentak terakhir sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional di tahun 2024. Pada 9 Desember 2020 lalu ada 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 kota yang mengikuti pemungutan suara untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur , Bupati dan Wakil Bupati serta Wali kota dan Wakil Walikota. Termasuk didalamnya 8 (Delapan) kabupaten/kota di Provinsi Jawa barat yang telah sukses melaksanakan pemilihan secara Langsung, Umum, Bebas, rahasia, Jujur dan Adil. 8 (delapan) daerah di Jawa Barat tersebut adalah Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi,  Kabupaten Indramayu, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Karawang, Kabupaten Pangandaran dan Kota Depok. Pelaksanaan pemilihan 2020 yang dilaksanakan pada masa Pandemi Covid-19 tentu adalah pengalaman pertama bagi penyelenggara pemilihan di seluruh Indonesia temasuk Kabupaten Sukabumi. Penerapan protokol kesehatan yang sangat ketat membutuhkan adaptasi yang cepat dengan target partisipasi masyarakat dan teknis kepemiluan yang diatur dengan cermat. Sekarang kurang lebih 2 (dua) tahun lagi masyarakat Indonesia termasuk Kabupaten Sukabumi khususnya akan mengikuti pesta demokrasi kembali yang dilaksanakan serentak pada tahun 2024. Pesta demokrasi tersebut adalah pemilu dan pemilihan serentak nasional 2024. Bagi sebagian kalangan mungkin belum memahami apa yang dimaksud dengan Pemilu dan pemilihan. Merujuk ke Undang – Undang tentang pemilu dan pemilihan, disebutkan bahwa; Pemilu (pemilihan umum) adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sedangkan Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota secara langsung dan demokratis. Tujuan penyelenggaraan pemilu sendiri menurut Asshiddiqie (2006) adalah untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintah secara tertib dan damai, untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan, untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat dan untuk melaksanakan prinsip hak – hak asasi warga negara. Dasar hukum pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak nasional tahun 2024 ini merujuk pada Pasal 7 UUD Tahun 1945 yang menyebutkan secara jelas bahwa  : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Begitu pula dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (ditetapkan tanggal 15 Agustus 2017) beberapa pasal menyebutkan secara jelas tentang ketentuan tersebut.  Dalam Pasal 1 angka 1 “Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wapres, dan anggota DPRD” Kemudian dalam Pasal 167 ayat (1) : “Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Lalu Pasal 167 ayat (7) : “Penetapan Pasangan Calon terpilih paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum berakhirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden”. (Pelantikan DPR dan DPD dan MPR RI tanggal 1 Oktober 2024)”. Untuk pelaksanaan pemungutan suara dalam pemilu diatur dalam Undang – Undang tersebut , bahwa Pasal 167 ayat (3) : “ Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional” dan lebih lanjut Pasal 167 ayat (2) : “ Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara Pemilu ditetapkan dengan Keputusan KPU” .Tahapan penyelenggaraan pemilu ini dilaksanakan minimal 20 bulan sebelum hari H dijelaskan dalam Pasal 167 ayat (6) : “Tahapan Penyelenggaraan Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai paling lambat 20 (dua puluh) bulan sebelum hari pemungutan suara” Selanjutnya untuk pelaksanaan pemilihan diatur dalam Undang-undang  Republik Indonesia nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang (ditetapkan tanggal 1 juli 2016). Untuk pelaksanaan pemungutannya sudah sangat jelas disebutkan dalam Pasal 201 ayat (8) : “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”.Untuk itu bagi Para kepala daerah yang dilantik bulan februari 2021 seperti halnya di Kabupaten Sukabumi menjabat sampai tahun 2024 ,ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 201 ayat (7) : “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024”. Dari Paparan diatas jelaslah bahwa Pemilu Serentak tahun 2024 akan memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk Pilkada Serentak tahun 2024 akan memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di 514 Kab/Kota dan 34 Provinsi seluruh Indonesia . Dengan begitu dapat di pahami bersama bahwa pemilu serentak 2024 akan menghadapi pelaksanaan pemilu yang tidak jauh beda dari pemilu 2019 hanya dalam tahun yang sama pula dibulan November 2024 juga akan dilaksanakan pemilihan secara serentak nasional. Pemungutan suara dalam pemilu di bulan februari akan menggunakan 5 (lima) surat suara dengan kebutuhan logistik 5 (lima) kotak suara di setiap TPS (Tempat Pemungutan Suara). Dan pelaksanaan pemilihan dibulan November dengan menggunakan 2 (dua) surat suara dengan kebutuhan logistik 2 (dua) kotak surat suara di setiap TPS (Tempat pemungutan Suara). Hari dan Tanggal pelaksanaan pemilu dan pemilihan pun telah disepakati dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)RI dengan Kementerian Dalam Negeri, KPU (Komisi pemilihan Umum) RI, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu)RI dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) RI. RDP dilaksanakan pada hari Senin 24 Januari 2022 yang menghasilkan kesimpulan sebagai berikut; Pemungutan Suara Pemilu Serentak tahun 2024 dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024 kemudian untuk Pemungutan Suara Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024 yang terakhir adalah bahwa Tahapan, program, dan jadwal akan dilaksanakan pendalaman lebih lanjut. Tahapan dari kedua penyelenggaraan ini tentu berbeda dan kemungkinan pula beriirisan satu sama lain dalam pemilu dan pemilihan serentak nasional 2024 nanti. Jenis /bentuk tahapan Penyelenggaraan dalam Pemilu yaitu : a. Perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu ; b.Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; c. Pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu; d.Penetapan peserta pemilu; e. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; f. Pencalonan Presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota; g. Masa kampanye pemilu; h.Masa tenang; i. Pemungutan dan Penghitungan suara; j. Penetapan hasil pemilu; k.Pengucapan sumpah/Janji Presiden dan wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan  Jenis /bentuk tahapan Penyelenggaraan dalam Pemilihan : 1. Tahapan Persiapan, terdiri dari : a. Perencanaan program dan anggaran; b.Penyusunan peraturan penyelenggaraan pilkada; c. Perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan tahapan pelaksanaan pilkada; d.Pembentukan PPK, PPS dan KPPS ; e. Pembentukan Panwas kabupaten/kota, Panwas kecamatan, PPL dan Pengawas TPS;  f. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pilkada; g. Penyerahan daftar penduduk potensial pilkada ; dan h. Pemutakhiran dan penyusunan daftar pilkada dan dalam 2. Tahapan penyelenggaraan ,yang terdiri dari : a. Pengumuman pendaftaran pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan calon wakil Bupati, serta pasangan walikota dan wakil walikota; b. Pendaftaran Pasangan calon Gubernur dan calon wakil gubernur,  pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, serta pasangan calon walikota dan wakilwalikota; c. Penelitian persyaran calon Gubernur calon Gubernur dan wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan calon wakil Bupati, serta pasangan walikota dan wakil walikota; d. Penetapan Pasangan calon Gubernur dan calon wakil gubernur , pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, serta pasangan calon walikota dan wakilwalikota;  e. Pelaksanaan Kampanye ; f. Pelaksanaan pemungutan suara; g. Penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara; h. Penetapan calon terpilih; i. Penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil pemilihan dan j.Pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih. Lalu apa yang telah dan akan dilaksanakan oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu dan pemilihan serentak 2024 ini? Dalam Rapat Pimpinan KPU RI dengan KPU Provinsi seluruh Indonesia yang diadakan di Surabaya pada tanggal 23-26 Februari 2022 , KPU telah membahas  beberapa draf PKPU(Peraturan KPU) yang kemudian akan segera diajukan dalam RDP dengan pemerintah dan  DPR . Ada 8 draft peraturan PKPU yang dibahas dalam Rapim tersebut, yaitu; 1. PKPU Tahapan; 2. PKPU Pendaftaran Parpol Calon Peserta Pemilu; 3. PKPU Pembentukan Dapil; 4. PKPU Pemutakhiran Data Pemilih dan Penyusunan Daftar Pemilih; 5. PKPU Pembentukan Badan Adhoc Penyelenggara Pemilu; 6. PKPU Norma Standar Pengadaan Logistik Perlengkapan Pemungutan Suara; 7. PKPU Pedoman Pengelolaan Keuangan Pemilu; dan 8. PKPU Partisipasi Masyarakat, Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih. Selain dari Mempersiapkan draft aturan tekhnis penyelenggaraan, KPU juga telah Menyusun rencana anggaran untuk dua penyelenggaraan pemilu dan pemilihan. tentu dengan memperhatikan prinsip –prinsip penganggaran, permendagri 54 tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Wali Kota Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 1 : “ Pendanaan Kegiatan Pemilihan gubernur dan wakil gubernur dibebankan pada APBD provinsi “ selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan : “ Pendanaan Kegiatan Pemilihan bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dibebankan pada APBD kabupaten/kota”. Pemilu dan pemilihan serentak memerlukan anggaran yang tidak sedikit , estimasi kebutuhan anggaran pilkada serentak nasional  untuk KPU Provinsi dan KPU kab/kota sebesar 26,20 T sedangkan untuk pemilu serentak 2024 KPU mengusulkan sebesar 76,6 T dan akan segera dibahas bersama antara pemerintah, DPR dan KPU. Hal yang tidak kalah penting dalam menyongsong pemilu dan pemilihan serentak nasional 2024 ini adalah dukungan Sumberdaya Manusia yang profesional dan berintegritas serta paham akan teknis kepemiluan. Untuk itu melalui proses seleksi yang ketat dan panjang oleh Tim seleksi yang dibentuk Presiden Republik Indonesia dimulai dari bulan November 2021 sampai dilakukannya FPT (Fit and Proper Test) oleh Komisi 2 (dua) di bulan Februari 2022 terpilihlah 7 (tujuh) komisioner KPU RI dan 5 (lima) komisioner Bawaslu RI yang kemudian akan dilantik oleh presiden Republik Indonesia tanggal 11 April 2022. Rekruitmen penyelenggara pemilu dan pemilihan ini juga akan dilaksanakan untuk KPU dan Bawaslu tingkat provinsi serta KPU dan Bawaslu tingkat Kabupaten /kota seluruh Indonesia. Yang nantinya pula akan ada rekruitmen badan Ad-hoc di tingkat kecamatan atau dikenal dengan PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) dan Panwascam (Panitia Pengawas Kecamatan); ditingkat desa disebut PPS (Panitia Pemungutan Suara) atau PK/D (Pengawas Kelurahan/Desa); dan yang terakhir rekrutmen KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan suara) dan PTPS (Pengawas Tempat Pemungutan Suara) di tingkat TPS (Tempat Pemungutan Suara). Dan dalam rekruitmen badan Ad-hoc ini KPU RI serta Bawaslu RI harus menyiapkan instrumen secara matang agar menghasilkan badan Ad-hoc yang berkualitas dan berintegritas. Yang kemudian secara teknis akan dilaksanakan oleh KPU kabupaten/kota sebagai implementator  dari setiap kebijakan KPU dan Bawaslu Pusat. Sumber Daya Manusia yang direkrut sendiri sangatlah banyak mulai dari tingkat kecamatan, desa/kelurahan dan di tingkat TPS bila dijumlahkan 5 orang PPK saja di 7.094 kecamatan seluruh indonesia maka yang mesti direkrut sebanyak 35.470 PPK, 250.341 PPS, untuk TPS masih dalam pemetaan sampai dengan DPT ditetapkan serta 21.282 Panwascam , 83.447 PK/D yang tersebar di  34 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Keterlibatan Pemerintah daerah dalam penugasan personel pada sekretariat PPK, Panwaslu kecamatan dan PPS disebutkan dalam UU 7 Tahun 2017 pasal 434. Sumber Daya Manusia untuk kesekretariatan PPK di tingkat kecamatan yaitu 1 orang sekretaris dibantu dengan 2 orang staf untuk kebutuhan di 7.094 kecamatan juga untuk sekretariat PPS yaitu 1 orang sekretaris dibantu dengan 2 orang staf untuk kebutuhan di 83.447 desa/kelurahan; begitu pula untuk sekretariat panwascam 1 orang sekretaris dibantu dengan 2 orang staff (7.094 kecamatan) kebutuhan yang dimaksud diatas untuk kecamatan dan kelurahan/desa seluruh Indonesia.  aturan tersebut diatur dalam Permendagri no.137 tahun 2017. Dalam Rangka Penguatan kelembagaan KPU melakukan konsolidasi kelembagaan melalui kerjasama dengan berbagai Instansi /Lembaga Baik pemerintah maupun swasta yang dilakukan secara continue dan berjenjang sampai tingkat Kab/kota. Kerjasama kelembagaan ini dilakukan baik secara formal dalam bentuk MoU (Memorandum of Undersatanding) maupun kegiatan lainnya yang mendukung pelaksanaan pemilu dan pemilihan 2024 seperti melakukan audiensi dan silaturahmi kelembagaan. Terakhir yang ingin saya sampaikan bahwa sosialisasi dan pendidikan pemilih Berkelanjutan merupakan bagian untuk mempersiapkan pemilih yang cerdas dan berintegritas pada pemilu dan pemilihan 2024. Bentuk dan metode sosialisasi yang variatif dilakukan oleh KPU dari tingkat Pusat sampai daerah guna menyasar semua segmen pemilih. Dengan menggunakan media sosialisasi baik secara luring (luar jaringan) atau Offline maupun daring (dalam Jaringan) atau Online diharapkan bisa meningkatkan partisipasi pemilih pada pemilu dan pemilihin serentak 2024 nanti. Di Kabupaten Sukabumi Pasca Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati sukabumi tahun 2020, KPU Kabupaten Sukabumi telah melakukan kegiatan berupa Pendidikan Pemilih pada Daerah Partisipasi Rendah di 6 (enam)  Desa dari 6 (enam) Kecamatan yang ada di 6 (enam) Daerah pemilihan. kegiatan sosdiklih ini dilaksanakan secara luring dengan menyisir desa yang partisipasinya di bawah 50 % (Lima puluh persen). Selanjutnya kegiatan Kursus Kepemiluan yang merupakan kegiatan rutin tahunan untuk segmen pemilih Pemula, Pemilih muda dan Pemilih disabilitas.  Kegiatan lainnya adalah kegiatan Diskusi Online Ramadhan dengan tema seputar pemilu dan demokrasi hubungannya dengan literasi keagamaan yang dilakukan secara daring dengan narasumber yang sangat berkompeten. lalu ada kegiatan evaluasi hasil pemantauan dari JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) dan KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu)  yang dilakukan oleh KPU Kab.Sukabumi, serta kegiatan Seminar terkait Tekhnis penyelenggaraan dan Diskusi hukum yang dilakukan secara daring . Di Akhir tahun , Bulan November – desember 2021 KPU kabupaten Sukabumi melakukan Roadshow Ke Partai Politik guna mensosialisasikan lebih awal kaitan Verifikasi Partai Politik dan sharing informasi kepemiluan lainnya. Di akhir Tahun 2021 Pula KPU Kabupaten Sukabumi melakukan Launching Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan Di Desa Cikiray Kecamatan Cikidang Kabupaten Sukabumi (14/12/2021). Di awal tahun 2022 ini KPU Kabupaten Sukabumi melalui program bertajuk “ Ngaji Bersama KPU “ melakukan kegiatan Pendidikan Pemilih untuk para  Santri dikabupaten sukabumi. Tentu dari kegiatan Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih yang telah dilakukan ada Tujuan yang ingin dicapai. Tujuan dari Pendidikan pemilih itu sendiri adalah untuk ; a. membangun pengetahuan pemilih; b. membangun kesadaran pemilih ;c. meningkatkan partisipasi pemilih; dan d. meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan masyarakat tentang pemilu (Pasal 26 ayat (1) Peraturan KPU No.10 Tahun 2018 tentang sosialisasi, pendidikan pemilih dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilihan umum). Semoga saja harapan untuk mendaulatkan pemilih bisa tercapai pada pemilu dan Pemilihan serentak Nasional 2024 nanti sehingga penyelenggaraan lebih berkualitas.                     


Selengkapnya
543

Pemilu dan Gen Z

Pemilu dan Gen Z Oleh: Resna Ristiana, S.IP Indonesia merupakan negara demokrasi yang kedaulatannya berada di tangan rakyat, sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia “maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kata demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani "demos", yang berarti rakyat, dan "kratos" yang berarti kekuasaan; maka demokrasi dapat dianggap sebagai "kekuasaan rakyat", cara memerintah yang bergantung pada kehendak rakyat. Namun terkadang kita akan lebih mudah memahami gagasan demokrasi dalam hal yang sebenarnya, karena Ada begitu banyak macam bentuk pemerintahan demokratis yang berbeda di seluruh dunia, dan dapat dipahami dengan baik, bahwa demokrasi tidak boleh menjadi "kekuasaan mayoritas" kelompok tertentu. Demokrasi, setidaknya dalam teori, adalah pemerintahan atas nama seluruh rakyat, menurut “kehendak” rakyat. Di Indonesia sendiri, hakikat kekuasaan rakyat untuk kepentingan bersama dilandasi dengan Pancasila sila keempat yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" yang tentunya dijiwai oleh sila pertama, kedua, ketiga, dan kelima. Menyongsong perhelatan akbar Tahun 2024 mendatang, Pemilihan Umum atau yang disingkat Pemilu sering kita dengar belakangan ini di berbagai platform, baik televisi maupun media sosial. Pemilu secara umum dapat digambarkan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota Legislatif. Pengertian Pemilu : Dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bab 1 pasal (1) menjelaskan bahwa Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu merupakan salah satu nilai inti dari demokrasi, dimana kehendak rakyat menjadi dasar otoritas pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Mengutip dari laman resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation) dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menekankan bahwa kehendak rakyat adalah dasar dari otoritas pemerintah. Penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental serta prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur ​​dan berkala merupakan elemen penting dari demokrasi. Pemilu merupakan bentuk pengabdian kita kepada negara, sebagai sarana integrasi bangsa. Pemilu dan Partisipasi : Partisipasi manyarakat sangat penting untuk pemerintahan yang demokratis demi terwujudnya hakikat negara demokrasi. partisipasi penting dalam rangka pemberdayaan individu dan kelompok, dan yang paling penting lagi adalah untuk menghilangkan marginalisasi dan diskriminasi. Partisipasi dalam pemilu merupakan hak asasi rakyat dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk hak atas pendidikan dan informasi politik. Partisipasi masyarakat secara stereotip dapat digambarkan dengan memberikan suara pada saat Pemilu, atau berpartisipasi aktif dalam setiap informasi kegiatan tahapan pemilu. Bagaimana cara mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu 2024? Media sosial ! ya, penyebarluasan informasi melalui media sosial dinilai lebih efektif belakangan ini, mengingat mudahnya dan cepatnya akses informasi diterima oleh berbagai kalangan usia masyarakat dan media sosial merupakan sarana yang paling murah untuk menyebarluaskan informasi. Sasaran sosialisasi pada pemilu 2024 ini adalah Gen_Z, yang menurut data mencapai 60% dari jumlah pemilih. siapa Gen Z? “Generasi Z pertama lahir ketika internet baru saja digunakan secara luas. Mereka disebut “Penduduk Digital” atau generasi pertama yang tumbuh bersama internet sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, Gen Z merupakan sasaran empuk bagi penyebarluasan informasi melalui media sosial. Berdasarkan pengamatan pribadi, Gen Z dapat menghabiskan enam jam atau lebih per hari menggunakan ponsel mereka untuk mencari segala jenis informasi, termasuk berita. Tak hanya di Indonesia, dunia media sosial sudah menjadi ekosistem tersendiri bagi  Gen Z diwilayah Asia Tenggara. Peluang  besar Gen-Z ikut Pemilu 2024 Kembali melihat fakta, bahwa 60% pemilh dalam pemilu kali ini adalah Gen Z. Selain dapat menyumbangkan suara yang banyak, Gen Z pun hidup di era serba digital.  KPU sendiri sudah melakukan langkah strategis untuk menarik perhatian Gen Z dengan informasi kepemiluan yang dikemas sedemikian rupa melalui platform digital (media sosial), baik tingkat pusat maupun Kabupaten/ Kota. KPU menyajikan informasi dengan literasi politik yang baik dan kekinian. Dapat kita ketahui bersama bagaimana algoritma mesin media sosial bekerja, semakin banyak orang berinteraksi dengan umpan informasi yang kita sajikan maka konten tersebut akan berada dalam urutan peringkat atas dalam mesin pencarian. Melihat interaksi Gen Z dengan laman media sosial resmi KPU Kabupaten Sukabumi, maka dapat dipastikan mereka mempunyai keinginan tinggi untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2024. Namun tugas ini bukan hanya bertumpu pada KPU saja, Partai Politik peserta Pemilu pun harus berkolaborasi menarik perhatian kawula muda dengan konten kekinian. Mengapa Pemilu penting bagi Gen Z? Karena pemilu merupakan instrumen penentu arah kebijakan publik satu Negara, maka pemilu pun sangat penting bagi penentu masa depan Gen Z. Selain daripada itu, melalui pemilu, Gen Z dapat memahami esensi dari Demokrasi, menjadi pemilih cerdas, kritis, dan kreatif. Gen Z melek politik, tidak menutup mata, dan tidak golput.


Selengkapnya
564

Perihal Pilkada Daerah Istimewa dan Daerah Khusus: Aceh, DKI Jakarta, DIY dan Papua

Pada prinsipnya dikenal ada 2 konsep otonomi daerah: simetri dan asimetris. Indonesia menganut otonomi simetris sbgmn diatur dalam UU 23/2014 ttg Pemda. Namun demikian Indonesia juga menganut otonomi asimetris utk daerah istimewa dan daerah khusus sbgmn amanat UUD 1945 yg diatur dalam UU DKI Jakarta, UU Daerah Istimewa Yogyakarta, UU Pemerintahan Aceh dan UU Otonomi Khusus Papua. Dalam konteks perUUan dikenal azas _lex specialis derogat legi generalis_. Dalam konteks otonomi daerah, UU Pemda adalah _lex generalis_ dan UU Daerah Istimewa/Khusus adalah _lex specialis_. Dalam konteks Pilkada, UU Pilkada (UU 1/2015, UU 8/2015, UU 10/2016) adalah _lex generalis_ utk mengatur pilkada di semua daerah (provinsi dan kab/kota) di Indonesia. Demikian pula UU ttg daerah istimewa/khusus adalah _lex specialis_ utk pilkada di daerah istimewa/khusus. Sistem pemilu/pilkada memiliki 4 aspek strategis, yaitu: 1. Daerah pemilihan dan alokasi kursi. 2. Mekanisme pencalonan. 3. Metode pemberian suara. 4. Formula pemilihan. Berdasarkan 4 aspek strategis pilkada tsb berlaku utk semua daerah dalam pilkada sbgmn diatur dalam UU Pilkada. Namun demikian terdapat perlakuan khusus utk daerah istimewa/khusus, yaitu: *1. Mekanisme Pencalonan* 1.1. Untuk Papua terdapat pengaturan khusus ttg syarat calon gubernur dan wakil gubernur yaitu harus orang Papua Asli atau dinyatakan sbg orang Papua Asli oleh MRP (ketentuan ini hanya berlaku utk calon gubernur dan wakil gubernur saja, dan tidak berlaku utk calon bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota). 1.2. Untuk DIY pengaturan khusus berkaitan 2 hal: 1.2.1. Syarat calon gubernur DIY harus Sultan HB dan calon wagub harus Pakualam. 1.2.2. Mekanisme pencalonan melalui penetapan oleh DPRD DIY dan diusulkan ke Presiden utk ditetapkan dan dilantik. 1.3. Untuk Aceh pengaturan kekhususan berkaitan dg: 1.3.1. Syarat calon gubernur/bupati/walikota dan wakilnya harus fasih membaca Qur'an dan melalui tes baca Qur'an. Hanya saja pengaturannya hanya pd level Qonun Prov Aceh (Perda Prov) dan Qonun Kab/Kota (Perda Kab/Kota), bukan pada level UU. 1.3.2. Parpol lokal Aceh dapat mengajukan pendaftaran calon. Ketentuan ttg syarat pencalonan oleh parpol lokal Aceh mengikuti ketentuan UU Pilkada. *2. Metode Pemberian Suara* Untuk Papua Pilkada Gubernur/Bupati/Walikota dan wakilnya digunakan metode noken utk daerah2 tertentu. Pengaturan ttg noken pada level PKPU dan penentuan daerah yg pake noken menggunakan SK KPU Prov Papua, bukan pada level UU. *3. Formula Pemilihan* Formula pemilihan utk Pilkada DKI Jakarta kekhususannya adalah pemenang pilkada harus memperoleh suara sah lebih dari 50% (>50%) suara sah. Bila tidak terdapat calon yg memperoleh suara lebih dari 50% (>50%) suara sah (suara terbanyak mayoritas), maka digelar pilkada putaran kedua yg diikuti oleh calon yg memperoleh suara terbanyak peringkat pertama dan kedua. Formula pemilihan utk pilkada putaran kedua adalah pemenang harus memperoleh lebih dari 50% (>50%) suara sah.  Berdasarkan hal tsb, maka dapat disimpulkan bahwa kekhususan Pilkada di daerah istimewa/khusus (Aceh, DKI Jakarta, DIY dan Papua) hanya pada aspek strategis pilkada sbgmn dijelaskan tsb di atas. Berkaitan dg waktu penyelenggaraan pilkada berikutnya bagi daerah istimewa/khusus yg Pilkada 2017 dan Pilkada 2018 (Aceh, DKI Jakarta, DIY, dan Papua), tentu berlaku ketentuan umum pilkada sbgmn diatur dalam Pasal 201 ayat (3), (5), (7), (8), (9) UU 10/2016 ttg Pilkada. *UU 10/2016 ttg Pilkada* *Pasal 201* (3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022. (5) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023. (7) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024. (8) Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024. (9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024. Demikian pendapat dan penjelasan saya. Semoga manfaat. Hasyim Asy'ari Anggota KPU


Selengkapnya
464

Paradigma Baru Kampanye Pilkada

Oleh: H. Idham Holik (Anggota KPU Provinsi Jawa Barat) Di awal Oktober 2020, setidaknya dapat diklasifikasikan ada dua jenis wacana yang berkembang di media massa yaitu pertama, Covid-19 masih mengganas baik pada saat masa kampanye ataupun pasca pemilu. Di masa kampanye, misalnya kandidat petahana dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat 2020, Donal Trump beserta istri terinfeksi Covid-19 dan pascapemilu di Sabah, Malaysia, terjadi lonjakan kasus Covid-19 sebanyak 260 kasus baru. Tentunya wacana ini memperkuat rasionalisasi pemuka opini dan publik kritis yang mengkhawatirkan penyelenggaraan Pemilihan Serentak (Pilkada) Lanjutan di tengah pandemi Covid-19 yang berpotensi menjadi penyebab peningkatan penularan Covid-19. Tentunya kekhawatiran tersebut tetap harus diapresiasi, karena hal itu harus dilihat sebagai upaya untuk memastikan bahwa demokrasi elektoral di Indonesia tidak tersandera oleh Covid-19. Wacana pertama tersebut tentunya harus dimaknai sebagai peringatan (warning) untuk terus meningkatkan kedisiplinan penerapan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pemilihan, khususnya di masa kampanye. Misalnya masih banyak para kandidat lebih menyukai kegiatan kampanye pertemuan terbatas, tatap muka, dan dialog dalam bentuk pertemuan tatap muka (maksimal 50 peserta dengan protokol kesehatan). Hal ini terjadi di 8 Kab/Kota di Jawa Barat. Dan kedua, adanya kecendrungan penurunan jumlah zonasi pada daerah yang menyelenggarakan pemilihan yang berrisiko tinggi dari 45 ke 29 kabupaten/kota dan sebaliknya ada di daerah non-pemilihan terjadi peningkatan zonasi dari 25 ke 33 kabupaten/kota. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo (2/20/2020). Wacana kedua tersebut menyampaikan pesan keseriusan dan kolaborasi baik dari semua pemangku kepentingan pemilihan (electoral stakeholders) dalam mempercepat penanganan penyebaran pandemi Covid-19. Semoga apa yang dikhawatirkan oleh pemuka opini dan publik kritis tersebut di atas tidak terjadi dimana Pilkada bukan menjadi sarana penyebaran Covid-19 dan jumlah zona pemilihan berisiko tinggi Covid-19 secara drastis terus menurun. Wacana kedua tersebut menjadi peningkat optimisme publik. Ini menjadi faktor stimulan partisipasi pemilih dan menjadi titik terang bagi demokrasi elektoral Indonesia tidak menjadi korban senyap (the silent victim) Covid-19. Oleh karena itu, semua pihak secara kolaboratif dapat meningkatkan disiplin protokol kesehatan dalam Pilkada. Paradigma Elektoral Baru Dengan terbitnya Peraturan KPU RI No. 13 Tahun 2020, KPU RI berupaya menjawab kekhawatiran publik atas penyelenggaraan Pilkada saat ini. Oleh karena itu, ada beberapa hal penting mesti ketahui yaitu pertama, pengutamaan penggunaan media sosial dan media daring sebagai media utama kampanye (Pasal 58 ayat 1 dan Pasal 63). Khusus di Pasal 63 tersebut, KPU dengan tegas meniadakan bentuk kampanye dalam kegiatan lainnya yang sekiranya berpotensi terjadinya kerumuman massa dan menggantikannya dengan kampanye media sosial dan media daring. Ini sebuah terobosan untuk masa depan e-campaign di Indonesia. Ketentuan tersebut mempercepat internetisasi kampanye dalam Pilkada, yang di Pilkada sebelumnya belum pernah ada kebijakan tersebut. Tentunya hal ini tidak sekedar merubah mindset politik para kandidat beserta partai pengusung dan semua pihak yang terlibat dalam kampanyenya, tetapi juga merubah paradigma elektoral baik kandidat ataupun pemilih. Inilah era baru demokrasi elektoral Indonesia. Covid-19 telah mentransformasi secara radikal bentuk kampanye. Kini menyisakan pertanyaan, apakah para kandidat benar-benar siap memasuki era tersebut? dan apakah pemilih benar-benar telah menjadi the connected voters (atau pemilih digital)? Terlepas dari apapun jawabannya yang jelas kini kandidat dan pemilih harus dapat beradaptasi transformasi besar tersebut. Tidak sekedar memahami secara efektif menggunakan internet, kandidat dituntut secara kreatif membuat konten. Begitu juga, selain meningkatkan akses internet, pemilih di waktu yang singkat harus meningkat literasi internetnya. Khusus terkait peningkatan literasi internet pemilih, KPU penyelenggara Pilkada harus lebih sistematis dan terstruktur dalam mengedukasi pemilih terkait hal tersebut. Dan kedua, sanksi atas pelanggaran protokol kesehatan bagi kandidat. Misalnya termaktub dalam Pasal 88D PKPU No. 13 Tahun 2020 dimana kandidat beserta partai dan tim pemenangannya akan dikenakakan sanksi atas pelanggaran protokol kesehatan yaitu (a) peringatan tertulis oleh Bawaslu pada saat terjadinya pelanggaran; (b) penghentian dan pembubaran kegiatan kampanye oleh Bawaslu di tempat terjadinya pelanggaran tersebut, apabila tidak melaksanakan peringatan tertulisan tersebut dalam waktu satu jam sejak diterbitkan peringatan tertulisan; dan (c) larangan melakukan metode kampanye yang dilanggar tersebut selama tiga hari berdasarkan rekomendasi Bawaslu. Terkait hal tersebut, tidak sekedar untuk memastikan disiplin protokol kesehatan selama masa kampanye, Bawaslu RI telah memerintahkan Bawaslu Provinsi dan Kab/Kota untuk membentuk Pojka (Kelompok Kerja) Pencegahan Covid-19 dalam Pilkada 2020 yang tertuang dalam dalam Surat Edaran Bawaslu RI No. 577/K.Bawaslu/PM.06.00/IX2020 tertanggal 28 September 2020. Pokja tersebut akan bekerja menangani pelanggaran terhadap pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 dalam setiap tahapan Pilkada. Jadi berdasarkan deskripsi singkat tersebut di atas, penggunaan internet selama masa kampanye (e-campaign) dan penerapan protokol kesehatan selama penyelenggaraan Pilkada di tengah masa pandemi Covid-19 adalah dua unsur terpenting dalam paradigma elektoral baru. Solusi atas Ancaman Penurunan Partisipasi Elektoral Di tengah tren penurunan partisipasi pemilih pada pemilu/pemilihan di tengah pandemi Covid-19 di berbagai negara, kiranya, paradigma baru tersebut dapat menjadi solusi. Paradigma baru tersebut sebenarnya adalah aktualisasi nyata dari prinsip hukum salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi). Dengan paradigma baru tersebut, kini pemilih tanpa harus khawatir lagi atas ancaman kesehatan akibat Covid-19, pemilih tetap dapat mengakses atau berpartisipasi dalam kegiatan kampanye baik secara daring (online) atau luring (offline). Dengan internet, pemilih lebih leluasa berpartisipasi tidak hanya sebatas e-campaign, tetapi juga news engagement (mengakses berita politik). Atau dengan protokol kesehatan yang ketat, pemilih tetap dapat ikut serta dalam kegiatan kampanye dengan tatap muka dan mendalami visi, misi, dan program yang ditawarkan kandidat selama masa kampanye. Dengan paradigma baru tersebut, mari kita buktikan bahwa Pilkada tetap mendapatkan antusiasme pemilih dalam berpartisipasi dan kita tunjukan bahwa demokrasi elektoral Indonesia memiliki ketahanan di tengah pandemi Covid-19.


Selengkapnya